Hadiah Pernikahan

Diterbitkan di Majalah SEKAR Edisi 45/10, 01-15 Desember 2010, hal 130

 

Jauh-jauh hari, saya sudah merencanakan acara privat untuk ulang tahun pernikahan. Tidak terlalu wah, simpel saja. Saya bermaksud memberi kejutan kepada suami berupa kue tart buatan saya. Model hiasan dan rasa kue pun sudah jelas di bayangan saya. Bahkan satu minggu sebelumnya, saya sudah membeli bahan-bahan dengan lengkap.

Saya juga berencana memasak menu spesial untuk makan siang bersama suami. Semua koleksi resep saya bongkar demi mencari menu yang paling pas untuk momen bahagia itu. Oh ya, saya juga sudah mengajak suami untuk makan malam di sebuah warung tenda seafood. Suami setuju. Untuk yang satu ini memang bukan kejutan, tapi kebetulan warung tenda itu memang tempat favorit kami berdua sejak masa pacaran. Ya, itung-itung nostalgia.

Semua rencana itu saya tulis dengan rapi di dalam agenda saya. Ya, benar, dengan sangat detail. Bahkan menu apa yang akan dipesan di warung tenda seafood itupun saya tulis dengan lengkap. Saya memang terbiasa untuk merencanakan sesuatu dengan detail dan rapi. Namun apa yang terjadi?

Tiga hari menjelang hari H, saya merasa ada yang aneh dengan badan saya. Menjelang sore, suhu tubuh saya naik. Ada rasa mual di bagian perut saya. Ah, saya pikir saya hanya kecapean biasa. Atas pertimbangan suami, saya mengkonsumsi obat dan antibiotik. Namun saya tidak merasakan perubahan apa-apa. Akhirnya, dengan berat hati, tepat di hari ulang tahun pernikahan, kami berdua berangkat ke rumah sakit. Diagnosa dokter, saya terkena thypus dan harus bedrest sampai kondisi tubuh benar-benar pulih.

Jujur, saya sangat kecewa. Siapa sih yang senang harus ke rumah sakit pas ulang tahun pernikahan? Tapi memang demikian kenyataannya. Semua rencana yang sudah saya susun dengan amat rapi, pupus sudah. Saya kecewa, sangat kecewa.

Namun di balik kekecewaan yang rasa rasakan, ternyata Tuhan memberikan saya “hadiah” yang lain. Suami saya selalu berada di sisi saya selama saya sakit, perhatiannya yang luar biasa kepada saya, kata-katanya yang menyemangati saya, kesabarannya mengingatkan saya makan dan minum obat, bahkan perjuangannya untuk membuatkan mie goreng malam-malam untuk saya. Selama ini saya merasa hal-hal yang dilakukannya itu adalah hal yang biasa saja. Tapi ketika saya tidak bisa melakukan apa-apa lalu ada orang yang bersedia melakukannya untuk saya dengan penuh cinta, itu menjadi suatu hal yang sangat luar biasa. Itulah hadiah pernikahan yang sesungguhnya.

Memang benar apa yang dikatakan banyak orang, manusia hanya bisa berencana tapi Tuhanlah yang menentukan. Seperti saya yang terlalu sibuk dengan rencana ini itu. Maka ketika rencana itu tidak terwujud, saya terlalu kecewa. Pengalaman ini mengajari saya tentang kepasrahan menerima kenyataan meski bukan berarti selalu berpasrah tak berbuat apa-apa. Saya janji, saya tidak akan kapok lagi berencana akan banyak hal, tapi tentunya cara saya memandang rencana, itulah yang berubah.

Leave a comment