Kasih Seorang Iin

KASIH SEORANG IIN

Oleh: Lisa Saan

Diterbitlkan di Majalah SEKAR Edisi 48/11,  12-26 Januari 2011, hal. 124-126

 

Pak Sunggodo memperhatikan Iin yang sedang menyapu lantai. Dilihatnya wajah Iin begitu sumringah. Sesekali terdengar Iin mendendangkan lagu dari bibir mungilnya. Iin memang terlihat agak kaku ketika menyapu lantai, tapi dari wajahnya ia tampak begitu menikmati pekerjaannya itu.

Ini adalah bulan ketiga Iin sudah bekerja di rumah Pak Sunggodo. Meski demikian, Iin terlihat sudah sangat cekatan mengerjakan apa yang sudah menjadi pekerjaannya. Bahkan tak jarang Pak Sunggodo dikejutkan oleh beberapa tingkah laku Iin yang hampir di luar kebiasaan seorang pembantu rumah tangga.

Suatu kali, misalnya, di akhir bulan pertama bekerja, Iin menyampaikan sebuah buku berisi laporan pengeluaran untuk belanja harian secara detail beserta jenis masakan yang ia buat hari per hari. Iin dengan rapi menulis secara lengkap setiap rupiah pengeluaran dari uang belanja yang diserahkan Pak Sunggodo setiap bulannya. Meski agak kaget melihat apa yang dilakukan Iin, toh Pak Sunggodo merasa senang juga. Di mata Pak Sunggodo, Iin terbukti sangat bertanggung jawab atas pengeluaran uang belanja.

Tak hanya uang belanja, menu makanan pun disusun oleh Iin dengan sedemikian apiknya. Meski tetap memperhatikan budget, perempuan berusia 24 tahun ini selalu menyediakan menu makanan yang bervariasi dan sehat setiap harinya. Apalagi Pak Sunggodo mengidap diabetes yang lumayan parah, tentunya memerlukan pemantauan secara khusus untuk pola makannya setiap hari. Dan lagi-lagi, Iin cepat belajar mengenai kebutuhan nutrisi majikannya ini.

Pak Sunggodo juga sempat sedikit kaget ketika Iin meminta gajinya ditransfer via rekening saja setiap bulan. Alasan Iin karena ia tidak ingin menjadi boros. Iin juga mengaku kebutuhannya sudah terpenuhi semuanya di rumah Pak Sunggodo, jadi tidak perlu memegang uang.  Iin juga mengaku, gaji yang ditransfer memudahkan Pak Sunggodo sekaligus memudahkannya untuk langsung mengirim uang ke orangtuanya. Cepat dan aman, ujar Iin. Agak di luar kewajaran memang, tapi itulah Iin, pembantu baru di rumah Pak Sunggodo.

“Pak?” panggil Iin pelan. Pak Sunggodo terkejut dari lamunannya. Dilihatnya Iin sedang berlutut di samping kursi goyangnya.

Lho Bapak ngelamun ya?” tanya Iin kemudian.

Pak Sunggodo tersenyum kemudian menggeleng pelan,” Nggak, In, kenapa?”

“Sarapan pagi Bapak sudah siap di meja makan.” Tangan kanan Iin mengarah ke meja makan.

“Oke, terima kasih. Masak apa kamu hari ini?” tanya Pak Sunggodo sambil merapikan sendalnya dan bangkit dari kursi dan berjalan menuju meja makan.

Iin ikut bangkit lalu mundur beberapa langkah, sebelum berjalan mengikuti Pak Sunggodo.

“Pagi ini, Bapak sarapan bubur ayam, untuk makan siang dan makan malam nanti, menunya tumis kangkung sama ayam bumbu kecap, Pak.”

Wuah enak banget dong. Saya jadi lapar nih sekarang.” Pak Sunggodo menarik kursi dan langsung duduk.

Iin cuma tersenyum, tidak menjawab. Ia merapikan susunan piring kecil berisi kapsul yang berada di samping gelas berisi air  putih.

“Ini obatnya. Jangan lupa diminum ya, Pak.”  ujar Iin kemudian.

“Terima kasih ya, In.”  jawab Pak Sunggodo.

“Saya lanjut masak dulu, Pak. Permisi.”  Iin baru saja melangkahkan kakinya beberapa langkah, tiba-tiba Pak Sunggodo kembali memanggilnya.

“Oh ya, In.”

“Iya, Pak.” Iin bergegas kembali berdiri di samping Pak Sunggodo.

“Besok anak-anak dan cucu-cucu saya datang. Saya ulang tahun besok. Kamu masak yang spesial ya. “ pinta Pak Sunggodo.

Iin tersenyum lalu menggangguk senang, “Baik, Pak. Nanti siang saya susun menunya, lalu saya minta persetujuan Bapak dulu sebelum belanja besok pagi. Oh ya, acaranya makan siang atau makan malam, Pak?”  tanya Iin lagi.

“Makan malam.”  sahut Pak Sunggodo singkat.

“Oh, baik kalau begitu. Saya permisi dulu, Pak.”

Pak Sunggodo tersenyum sebelum menyuapkan bubur ayam ke dalam mulutnya.

***

Mang Heru, sopir Pak Sunggodo baru saja selesai menyapu halaman. Ia duduk di sebuah batu besar. Di sebelahnya Iin sedang memegang sebuah piring berisi singkong goreng.

“Jadi Mamang mau pulang kampung besok?”  tanya Iin sambil menyodorkan singkong gorengnya.

Mang Heru mengambil satu potong singkong, “Terpaksa, In. Kalau nggak pulang bagaimana, Emakku sakit.”

Iin memperhatikan Mang Heru yang sedang menyantap singkong goreng sambil sesekali meniupi singkong yang masih panas.

“Tapi besok Bapak ulang tahun, Mang. Mbak Arini, Mas Arman, dan anak-anaknya datang semua. Mereka mau makan malam bersama.”  lanjut Iin.

“Oh gitu ya?”  Mang Heru kaget.

Iin mengangguk. “Tadi pagi Bapak bilang begitu. Tadi siang aja saya sudah susun menu makanan buat besok.” Iin menyodorkan lagi singkong gorengnya kepada Mang Heru.

“Kalau Mamang minta ijin pulang besok, emang dikasih?”  tanya Iin lagi.

Terdengar helaan napas berat Mang Heru, “Itu dia, In. Mungkin Bapak kasih ijin, tapi sayanya yang nggak enak. Lagi pada repot kok saya pulang. Kasian kamu sendirian di sini.”

“Gak usah pikirin saya, Mang. Tapi senandainya gak dikasih ijin, berarti Mamang lusa aja pulangnya?”  usul Iin.

Mang Heru menoleh sejenak ke arah Iin lalu matanya kembali memandangi rumput.

“Sebetulnya Emakku sudah minta uang untuk berobat sejak minggu kemaren. Maksudku ntar aja pulangnya pas gajian. Eh tadi pagi adikku telpon lagi, Emak makin parah katanya.”

“Sakit apa Emak, Mang?” 

“Ya rematik, ya asam urat, yaah namanya juga orang tua, In.”  Mang Heru meraih gelas dan langsung menengak isinya habis.

“Mang…” lanjut Iin.

Mang Heru menoleh sejenak. “Heh?”

“Keluarga Mamang ada yang punya rekening di bank nggak?” tanya Iin kemudian.

Mang Heru mengerutkan dahinya sebentar, “Kayaknya adikku si Mina punya, dia kan kerja di pabrik. Kenapa kamu tanya begitu?”

Iin tersenyum lebar sebelum menjawab, “Kalau Mamang kirim uangnya buat Emak lewat rekening dulu, bagaimana? Saat ini juga langsung nyampe. Lusa atau kapan Mamang tinggal pulang jenguk Emak, yang penting kan uangnya dulu buat beli obat.”

Emang kamu bisa kirim uang dari rekening?” tanya Mang Heru lagi.

“Bisa. Nanti pakai uang saya dulu yang ada di rekening, Mamang tinggal bayar kontan ke saya nanti pas gajian. Tapi Mamang harus minta nomer rekeningnya Mpok Mina.” jelas Iin.

Beneran bisa, In?”  tanya Mang Heru tak percaya.

“Iya, Mamang…mau nggak?  Ayo cepetan biar uangnya langsung sampai. Nanti sore Mpok Mina tinggal ambil di ATM.”  lanjut Iin lagi.

Aih, kamu itu pinter banget sih, In… sayang banget kalau cuma jadi pembantu.” Mang Heru geleng-geleng kepala.

Ah, Mamang apaan sih, Mamang aja yang ketinggalan jaman.” 

Mang Heru dan Iin tertawa

***

Biasanya rumah Pak Sunggodo sepi, maklum setelah istrinya meninggal lima tahun lalu, Pak Sunggodo hanya tinggal seorang diri di rumah sebesar itu, ditemani Iin dan Mang Heru tentunya. Namun malam ini, suasana di rumah itu sangat berbeda. Rumah mendadak ramai. Gelak tawa anak-anak terdengar bahagia, alunan musik lembut juga mengalun merdu, suasana rumah menjadi begitu semarak.

Memang hari ini adalah ulang tahun Pak Sunggodo yang ke 75 tahun. Anak, menantu, dan cucu-cucunya berkumpul bersama. Di sebuah meja makan panjang, sudah tersusun apik beberapa menu makanan yang menggugah selera. Iin sudah masak spesial malam ini. Kebetulan, keluarga besar Pak Sunggodo sudah hapal betul dengan masakan Iin. Bahkan cucu-cucu Pak Sunggodo, Marisa, Robert, dan si kembar Marsha dan Mirsha, sangat menyukai masakan Iin. Itulah sebabnya mereka semua sayang pada Iin.

“Wah, luar biasa ya, Pa, si Iin itu. Jarang lho ada pembantu seperti dia, udah rajin, pintar masak, pintar atur keuangan ck..ck.. Beruntung banget Papa.” ujar Arini, anak sulung Pak Sunggodo, berdecak kagum.

Pak Sunggodo hanya tersenyum.

“Dulu dia kerja di mana sih, Pa?” tanya Arman, anak bungsunya.

Pak Sunggodo menggeleng pelan. “Papa sudah beberapa kali tanya, tapi dia nggak pernah mau cerita. Ngakunya sih ini pertama kali kerja. Dia juga nggak mau cerita waktu Papa tanya tentang sekolahnya.” jelas Pak Sunggodo.

“Hati-hati teroris lagi.” canda Arman.

Hush..nggak boleh ngomong sembarangan, Man. Yang penting dia ngurus Papa dengan baik, anaknya jujur, dan gak macemmacem, ya kan Pa?” ujar Arini.

Pak Sunggodo mengangguk pelan.

“Ya, tapi aneh aja, pinterpinter begitu kok jadi pembantu.” Arman sepertinya masih penasaran.

“Bulan depan Iin mau pulang, hanya dua hari katanya. Itu aja dia sudah repot mengurus menu makan Papa, uang belanja, bayar tagihan dll. Katanya jangan sampai urusan terbengkalai karena dia pulang kampong dua hari. Iin itu sudah jadi sekretaris Papa kayaknya,  bukan cuma pembantu.” Pak Sunggodo menggeleng-geleng kepala sambil tertawa pelan.

Arman hanya mengangkat bahu pelan.

***

Pak Sunggodo duduk terdiam, matanya menatap lurus ke arah rerumputan. Arini duduk di sebelahnya memegang tangan Papanya. Arman mondar-mandir di depan mereka sambil bertolak pinggang.

“Saya bilang juga apa, pasti ada maksud tertentu dari si Iin itu. Untung saya ikutin dia pulang, jadi tahu siapa dia sebenarnya sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.” ujar Arman.

“Man, kamu duduk dulu. Tenang. Kamu nggak boleh berprasangka buruk begitu.” sahut Arini.

Arini mengusap lengan Papanya. “Iya kan, Pa…?”

Pak Sunggodo tidak menoleh, ia hanya mengedipkan matanya.

“Terus sekarang Papa mau bagaimana? Mau tetap mempekerjakan Iin atau memecat dia? Bahaya, Pa, dia bisa balas dendam.” tanya Arman lagi.

Arini memandangi Papanya. Dari samping, Arini bisa melihat ada dua butir air mata menetes di pipi Pak Sunggodo.

***

Iin berlutut di lantai ruang keluarga. Di atas sofa, Pak Sunggodo, Arini, dan Arman duduk dengan diam. Sunyi. Tak ada yang bicara hingga dalam hitungan beberapa menit.

“Kamu benar anak Pak Soemadjo, kan?” tanya Arman memecah kesunyian. Arman terlihat sangat emosi.

Iin yang sejak tadi menundukkan kepala tiba-tiba mendongak. Dari wajahnya terlihat ia sangat terkejut. Iin kemudian menoleh ke arah Pak Sunggodo yang sedang menatapnya lesu. Mbak Arini di sampingnya menatap Iin dengan mata penuh harap.

Iin menarik napas panjang. “Iya, benar, Mas Arman. Saya Indira Soemadjo, anak bungsu dari Bapak Soemadjo.”

Arman tak sabar segera menyahut, “Mau apa? Balas dendam kamu?”

Arini terlihat khawatir lalu menoleh ke arah Papanya. Pak Sunggodo, masih menatap lesu kepada Iin, kemudian dengan pelan bertanya, “Kenapa, In..?”

Iin menunduk dalam. Kedua tangannya bertaut menjadi satu. Kemudian dengan yakin, Iin mengangkat kepalanya dan menatap mata lesu Pak Sunggodo.

“Karena saya tidak mau hidup dalam dendam, Pak.” sahut Iin pelan.

Arman, Arini, dan Pak Sunggodo terhentak dengan jawaban Iin.

“Saya tahu kalau Bapak yang membunuh Ayah saya beberapa puluh tahun lalu. Saya tidak tahu persis bagaimana masalahnya tapi yang saya tahu Bapak sama sekali tidak dipenjara atau dihukum. Saya juga tahu Bapak lari ke luar negeri beberapa tahun.” Iin menarik napas pelan.

Pak Sunggodo menatap Iin tak berkedip. Jantungnya terasa berdetak semakin keras.

“Tapi saya juga tahu, Pak, kalau Bapak dikejar-kejar rasa bersalah meski tidak ada yang menghukum Bapak. Saya juga tahu Bapak sangat menderita karena itu. Saya juga…saya juga menderita. Bukan hanya tidak punya Ayah tapi karena memendam rasa benci dan dendam yang amat sangat.” ujar Iin lirih

Iin menelan ludah.

“Satu-satunya jalan yang saya tahu untuk bisa lepas dari penderitaan itu adalah dengan belajar mengasihi Bapak. Dan asal Bapak tahu, Mbak Arini dan juga Arman… saya sudah menganggap Bapak sebagai Ayah saya sendiri.”

Arman tercengang. Arini terlihat mengusap air matanya. Pak Sunggodo kemudian merosot dari tempat duduknya, menghampiri Iin. Sebelum sampai kepada Iin, Iin sudah terlebih dahulu menghampirinya.

Pak Sunggodo memeluknya sambil menangis. Dalam isak tangisnya, terdengar lirih, “Maafkan saya, In. Ampuni saya.”

Mereka berdua berpelukan sambil menangis. Menangis bahagia.

***

 

            Dendam tidaklah menyelesaikan masalah, hanya mendatangkan penderitaan bagi orang yang menyimpannya. Memang tidak mudah untuk mengampuni bahkan mencintai orang yang melukai kita, tapi jika kita berhasil melakukannya, kita sedang merasakan sebuah hidup yang sempurna.

Leave a comment