Pilihan Ada di Tangan Saya

Diterbitkan di Majalah Prevention Indonesia Ed. Desember 2010 hal. 38-40

 

Ayah saya mungkin adalah bukan seorang Ayah yang sempurna di muka bumi ini. Namun bagi saya, beliau adalah sosok yang luar biasa. Beliau bukan saja mengajarkan saya segala sesuatu yang sudah sepatutnya seorang Ayah ajarkan kepada puterinya, sampai akhir hayatnya dan bahkan sampai Ayah meninggal pun, Ayah selalu mengajarkan saya tentang sebuah pilihan hidup.

Ayah saya adalah seorang pekerja keras. Di masa mudanya, ia menjalani hidup dengan berjualan kue hasil buatan Nenek. Perjuangan hidup yang keras inilah yang membuatnya menjadi sosok yang tegar dan kaku dalam menjalani hidup sehari-hari. Segala sesuatu dipandang Ayah sebagai sesuatu yang tidak boleh disia-siakan, sekecil apapun itu. Mulai dari masalah uang, makanan, pakaian, sampai waktupun, Ayah selalu menggunakannya dengan perhitungan yang sangat akurat. Dulu saya sempat memandang Ayah saya sebagai sosok yang sangat kaku, sangat pelit, sangat tidak peduli dengan kebutuhan dan keinginan saya sebagai seorang remaja puteri yang sedang tumbuh. Pokoknya bukan tipe saya banget!

Termasuk juga dalam hal pola hidup dan pola makan. Ayah sama sekali tidak suka jajan. Bisa dihitung dengan jari berapa kali dalam hidupnya, Ayah jajan. Itupun sangat selektif. Ayah tidak akan menyantap makanan yang dijajakan di pinggir jalan yang kotor dan berdebu, apalagi kalau Ayah melihat tempat berjualan atau tempat cuciannya tidak layak. Padahal saya akui, rasa jajanan itu luar biasa enak. Saya benar-benar dibuat kesal saat kami tidak diperbolehkan jajan dengan alasan yang Ayah utarakan waktu itu. Tidak sehat!

Menu yang tersedia di rumah pun mengikuti selera Ayah. Memang saya akui selera makan Ayah cukup tinggi. Ayah mewajibkan kami sekeluarga mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan setiap hari. Dalam satu bulan, ada dua hari di mana Ayah tidak mengkonsumsi daging sama sekali. Ayah menjadi vegetarian dalam dua hari itu. Karena menghormati Ayah, kami sekeluargapun mau tidak mau memakan lauk yang tersedia. Entah kenapa, saya merasa menu makanan saya kok jadinya dibatasi ya? Pas kepingin makan daging ayam, eh Ayah hari ini lagi menu vegetarian.

Tapi ya itulah Ayah saya. Bukan hanya itu, Ayah juga sangat konvensional dalam memilih warna makanan. Jangan harap Ayah akan mau menyantap makanan atau kudapan dengan warna merah cerah atau kuning genjreng. Alasannya pewarna makanan yang lagi-lagi, tidak sehat. Saya masih ingat betul ketika Ayah membuang bagian atas bakpao yang berupa titik merah sebagai tanda kalau bakpao itu isi daging. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala saat itu. Jadi, di rumah kami, kue yang dibuat oleh Ibu kalau tidak berwarna putih yang tidak menggunakan pewarna apapun, ya pasti warna hijau dari air daun suji. Parah ya?

Memang sih saya tahu kalau itu sehat dan alami, tapi kalau boleh pinjam istilah anak muda jaman sekarang, ya gak geto-geto juga kaleee… Kadang kala saya kepingin juga jajan di pinggir jalan, mencoba menyantap makanan yang berwarna-warni sesekali, sekedar merasakan dan memanjakan lidah, boleh kan? Tapi jangan harap hal itu bisa dilakukan selama ada Ayah.

Dalam hal olah raga pun Ayah tak kalah giat. Hampir setiap hari jam lima pagi, Ayah lari pagi atau sekedar jalan pagi. Ya, setiap hari! Hanya hujan deras yang bisa membuat Ayah tidak olah raga. Kebetulan juga rumah kami tidak jauh dari Sungai Cisadane, jadi sepanjang sungai menjadi rute favorit Ayah untuk olah raga. Ayah rajin sekali mengajak saya untuk ikut olah raga pagi. Sesekali saya turuti saja keinginannya, namun jujur saya tidak memiliki fisik sekuat Ayah. Saya jauh lebih muda tapi saya lebih dulu ngos-ngosan. Maklum saya tidak hobi olah raga. Akhirnya saya mundur teratur. Saya angkat tangan. Gak sanggup. Waktu itu saya hanya bisa tutup kuping mendengar omelan Ayah tentang kemalasan saya. Pheeww..!

Namun saya tiba-tiba terhenti di satu titik, diam tidak bisa berkata apa-apa maupun berpikir apa-apa, ketika suatu hari Ayah divonis menderita kanker usus. Bagai disambar petir di siang bolong, kami sekeluarga, terutama saya, panik luar biasa. Berbagai pengobatan medis hingga alternatif kami coba untuk mengobati penyakit Ayah. Saya pun tidak berhenti mencari informasi tentang penyakit kanker dan obat-obatannya yang manjur untuk Ayah. Yang ada di otak saya saat itu adalah Ayah harus sembuh. Harus. Namun saya tidak bisa menyalahkan takdir dan juga menyalahkan siapa-siapa. Kondisi Ayah semakin hari semakin menurun. Bukan hanya kondisi fisiknya namun semangat hidupnya. Saya seperti kehabisan akal akan apa lagi yang kami harus lakukan. Dokter juga sudah menyampaikan biaya operasi pemotongan usus dan pemasangan usus palsu untuk Ayah dan jujur, bagi kami sekeluarga, harga itu jauh di luar kemampuan kami.

Akhirnya kami memutuskan merawat Ayah di rumah dengan semampu kami. Sampai ketika Ayah harus pergi meninggalkan kami semua, saya tidak berhenti menangis selama beberapa bulan. Semua itu bukan baru saja terjadi. Ayah sudah meninggal lima tahun yang lalu. Namun bagi saya, Ayah selalu masih berada di rumah kami. Memang saya akui, sepeninggal Ayah, tidak ada lagi sosok yang mengatur pola makan dan pola hidup kami. Saya bisa jajan kapan saja saya mau. Saya juga bisa menyantap makanan apa saja yang saya inginkan. Ibu pun tidak melarang kami, mungkin karena dipikirnya kami sudah cukup dewasa untuk masalah seperti itu. Sebetulnya saya menyadari betul kalau pola makan saya sangat tidak sehat, bukan hanya saat ini, ketika Ayah tidak ada, tapi sejak Ayah masih ada pun, saya seringkali mencuri-curi kesempatan dan bersembunyi-sembunyi untuk melanggar aturan sehatnya. Tapi Ayah kembali mengajari saya. Saya membayangkan, Ayah yang memiliki pola makan dan pola hidup yang sehat saja masih dihinggapi penyakit kanker, apalagi saya! Saya jarang olahraga, saya lebih suka fast food daripada sayuran, saya lebih suka gorengan plus cabai rawit daripada buah-buahan.

Entah sejak kapan, saya tidak ingat awalnya, akhirnya saya memutuskan untuk “bertobat”. Saya mencoba meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang selama ini saya jalani. Mungkin saya tidak bisa seekstrim Ayah dalam hal pola hidup dan pola makan. Namun perlahan-lahan saya mulai memaksa diri saya bangun lebih pagi dan berolahraga ringan di sekitar rumah. Saya juga mulai menyantap berbagai jenis sayuran yang dulu sangat saya benci. Saya mulai meminum teh hijau meski masih sedikit-sedikit minum soft drink. Saya juga berusaha makan buah-buahan setiap hari, meski masih belum rutin. Saya juga mengakui saya masih keranjingan jajan di pinggir jalan, meski tak sesering dulu. Semua saya jalani bukan karena saya takut pada Ayah. Bukan juga karena saya takut menuruni sel kanker dari Ayah. Saya menyadari bahwa semuanya ternyata adalah pilihan hidup semata. Di tangan saya, saya berhak memilih pilihan yang terpampang jelas di hadapan saya. Tentunya dengan konsekuensi sesuai pilihan yang saya ambil. Kalau Ayah dulu memilih jalan hidupnya dengan pola yang cukup ekstrim, saya merasa cukup mengambil sekian persennya saja dari apa yang Ayah pilih sebagai awal pembelajaran saya. Saya tidak menutup mata kalau saya kepingin jajan. Saya juga tidak akan menyiksa diri, namun saya tahu kalau saya menyantap makanan tidak sehat, saya harus mensuplai juga makanan yang sehat dalam jumlah cukup banyak sebagai penawarnya. Saya harus olah raga lebih banyak ketika saya memilih makan fast food hari ini. Saya juga harus bisa makan serat lebih banyak ketika lidah saya mau menikmati gorengan plus cabai rawitnya yang aduhai. Saya juga harus bisa mengatur asupan kalori yang masuk ketika hari ini saya malas berolahraga. Semua pilihannya ada di tangan saya. Saya mau pilih yang sekedar enak atau yang pasti sehat. Semua pilihan di tangan saya. Juga di tangan Anda, tentunya.

Thanks, Dad.. I love you so much! In Memoriam alm. Bp.Usien Sundjaja, my dad, my love, my inspiration, my everything.

Leave a comment